Jakarta, 29 Agustus 2019–Akademi muda harus eksklusif, sekaligus inklusif. Harus eksklusif karena didasarkan pada keunggulan. Harus inklusif karena sudah semestinya akademi memegang prinsip kesetaraan, terlepas dari jenis kelamin, kecacatan, ras, etnis, asal, agama, ekonomi, atau status lainnya.

Di samping itu, akademi muda agar dapat mengakomodasi cedekia-cendekia yang tidak mendapatkan kesempatan masuk dalam pendidikan formal namun berhasil menjadi unggul dalam karya dan mendapat pengakuan publik.
Demikian perspektif yang dikemukakan oleh dua delegasi Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Tatas H.P. Brotosudarmo Ph.D (Ketua Pokja Sains dan Kebijakan ALMI) dan Sri Fatmawati Ph.D (Anggota Pokja Sains Garda depan) dalam acara 4th Worldwide Meeting of Young Academies (WWMYA) 2019, 29 Juli-2 Agustus, di kota Da Nang, Vietnam.


Perspektif tersebut menjadi masukan yang berhasil diperjuangkan oleh dua delegasi ALMI itu ke dalam revisi “Da Nang Statement of the 4th Worldwide Meeting of Young Academies”, khususnya terkait dengan definisi dari Akademi Muda, yang dilaksanakan pada akhir kegiatan WWMYA 2019 tersebut.
Acara WWMYA 2019 ini merupakan pertemuan besar akademi ilmuwan muda dari seluruh dunia yang diselenggarakan oleh Global Young Academy (GYA) dan tuan rumah Vietnam Young Academy (VYA). Pertemuan yang bertemakan “Young Academies for Promoting Peaceful and Inclusive Societies” ini dihadiri oleh 60 delegasi dari 47 institusi akademi ilmuwan muda, akademi ilmu pengetahuan nasional, serta universitas dan kementerian dari 35 negara.
Pada kesempatan tersebut, Dr. Brotosudarmo mendapat kesempatan memberi presentasi yang berjudul “Advocating Research Funding and Policy Advices to the National Strategic Agendas” pada semi pertama yang mengusung tema utama tentang praktik-praktik terbaik dari kegiatan akademi ilmuwan muda yang mendukung program Sustainable Development Goals(SDGs) dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).


Presentasi delegasi ALMI disampaikan pada hari pertama, 31 Juli 2019, setelah Keynote Address oleh Flavia Schlegel, dari International Science Council (ISC) dan UN Special Envoy for Science in Global Policy.