ALMI Diskusikan Berbagai Wajah Ketimpangan

Bagikan
Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp
Share on telegram
Share on email

Jakarta- Isu ketimpangan seringkali hanya dikenali sebagai permasalahan ekonomi, terutama ketika Badan Pusat Statistik merilis informasi tentang kenaikan rasio gini yang menandai besarnya jarak pendapatan masyarakat. Padahal ketimpangan terjadi dalam berbagai  dimensi, tak melulu soal perekonomian, tetapi juga merambat ke bidang kesehatan, pendidikan, hingga masalah religiusitas. Membahas isu ini, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia bekerja sama dengan Knowledge Sector Initiative menyelenggarakan diskusi bertema “The Multiple Faces of Inequality” pada 21-22 Mei 2017 lalu, di Jakarta.

Anggota ALMI, Firman Witoelar, mengatakan bahwa masalah ketimpangan yang  mempengaruhi berbagai aspek seperti kesehatan, pendidikan, kesempatan berkarier, dan pendapatan seringkali diwariskan kepada generasi berikutnya. “Tetapi peneliti belum banyak mengetahui tentang ketimpangan yang diwariskan antargenerasi (intergenerational inequality) di Indonesia,” ujarnya. Oleh sebab itu, isu ketimpangan menjadi permasalahan yang menarik untuk diteliti dari berbagai topik.

Pada sesi kedua, anggota ALMI Najib Burhani memaparkan kasus ketimpangan dalam konteks agama. “Ketimpangan dan diskriminasi dalam konteks agama dan kepercayaan lebih kompleks karena seringkali tidak disadari oleh pelakunya,” kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut.  Contohnya, menyebut masyarakat yang memeluk kepercayaan/agama lokal sebagai penganut animisme dan dinamisme dianggap hal yang normal. Padahal jika dilihat dari perspektif lain, hal itu merupakan bentuk diskriminasi, terutama pada saat pemeluknya kesulitan mendapat hak sebagai warga negara seperti KTP, akta kelahiran.

Setelahnya, Corry Elyda, perwakilan jurnalis dari The Jakarta Post menyebutkan bahwa isu ketimpangan saat ini belum menjadi isu yang “seksi” bagi media. Padahal banyak fragmen ketimpangan yang bisa dilihat dalam berita-berita pembangunan, berita perekonomian, dan kesehatan. “Jurnalis sangat membutuhkan data, riset evaluasi program atau kebijakan pemerintah dalam menulis isu ketimpangan,” ujar dia. Selain itu partisipasi publik serta kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk antara media dengan ilmuwan juga diperlukan untuk membangun kesadaran tentang ketimpangan dan cara mengatasinya.

Presenter terakhir, Yanuar Nugroho menyampaikan bahwa ketimpangan kerap disamakan dengan ketidakadilan, padahal sebenarnya berbeda. “Masalah ketimpangan sebenarnya tidak bisa diatasi dengan kebijakan yang mengedepankan kesetaraan karena starting point masyarakat sudah berbeda-beda,” tutur Deputi II Bidang Pengelolaan dan Kajian Program

Prioritas, Kantor Staf Presiden itu. Menurut dia, kelompok marjinal tidak akan bisa mengejar ketertinggalan dari kelompok yang lebih maju jika diperlakukan sama. Ketimpangan perlu diatasi dengan kebijakan yang dapat mendorong masyarakat mengejar ketertinggalannya.

Sejumlah contoh kebijakan yang ditargetkan mengatasi ketimpangan di antaranya adalah Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, serta Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan conditional cash transfer ini diambil agar masyarakat juga perlahan-lahan mampu mengatur keuangan dan mengalokasikan pendanaan sesuai kebutuhannya.

[ngg_images source=”galleries” container_ids=”1″ display_type=”photocrati-nextgen_basic_thumbnails” override_thumbnail_settings=”0″ thumbnail_width=”240″ thumbnail_height=”160″ thumbnail_crop=”1″ images_per_page=”20″ number_of_columns=”0″ ajax_pagination=”0″ show_all_in_lightbox=”0″ use_imagebrowser_effect=”0″ show_slideshow_link=”1″ slideshow_link_text=”Tampilkan Bentuk Slideshow” order_by=”sortorder” order_direction=”ASC” returns=”included” maximum_entity_count=”500″]

 

Anggrita Desyani

Artikel Lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content