Jakarta, 10 September 2019–Peringatan Hari Aksara Internasional yang jatuh tanggal 8 September 2019 lalu harus menjadi momentum bagi Indonesia menguatkan kembali komitmen dalam mengupayakan pengembangan ekosistem riset yang baik. Selain akan mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan iklim literasi yang berkualitas, ekosistem riset yang baik juga akan memberi peluang bagi terbangunnya perangai ilmiah (scientific temper) pada masyarakat.
“Perangai ilmiah ini mewujud dalam cara berpikir masyarakat yang sistematis, skeptis terhadap informasi, serta tersebarnya ide-de dan pengetahuan yang didasarkan observasi ilmiah dan faktual. Hal ini sangat penting untuk melawan gelombang pasca-kebenaran yang ditandai dengan membanjirnya hoaks dan berita palsu, yang dapat menganggu keberagaman bangsa,” ujar Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Dr Berry Juliandi, dalam siaran persnya, Selasa (10/9).
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengusung tema besar “Literacy dan Multilingualism” untuk peringatan Hari Aksara Internasional 2019 ini. Tema tersebut mengingatkan kembali dunia tentang pentingnya pencapaian agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB 2030, khususnya terkait upaya merangkul keberagaman budaya, termasuk linguistik, dalam pendidikan melalui pengembangan literasi.
Berry mengatakan, upaya peningkatan dan ketersediaan kualitas literasi sangat dimungkinkan apabila ekosistem riset suatu bangsa berjalan dengan baik. “Ekosistem yang dimaksud adalah sebuah kondisi yang memungkinkan untuk menata, mengelola, menempatkan sumber daya, dan mendanai riset-riset secara berkualitas dan terpadu,” kata dia.
Namun, lanjut Berry, literasi yang baik saja tanpa perangai ilmiah, tidak serta akan menghentikan hoaks. Hal yang lebih penting adalah terbentuknya perangai ilmiah masyarakat. “Perangai ilmiah akan menuntun orang untuk memiliki kebiasaan melakukan cek fakta,” ungkapnya.
Oleh karena itu, ALMI menyambut baik sejumlah upaya pemerintah untuk menghadirkan ekosistem riset yang baik, seperti melalui penyusunan Rencana Induk Riset Nasional (RIRN) lewat Peraturan Presiden No. 38/2018; rencana pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang dimandatkan oleh Undang Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; dan penekanan perlunya pengadaan publik, khusus riset riset yang berkualitas baik dari perguruan tinggi maupun lembaga think tank.
“Hadirnya kerangka aturan tersebut harus diterjemahkan dan diimplementasikan dengan baik, khususnya terkait tata kelola yang saat ini tumpang tindih, dan perizinan yang panjang dan berbelit. Perubahan regulasi harus memihak kepada kepentingan riset, bukan sebaliknya seperti yang selama ini terjadi,” paparnya.
Pendanaan adalah masalah berikutnya dalam ekosistem riset yang juga perlu dibenahi. Pada tahun 2019, Indonesia menganggarkan Rp 35,7 triliun atau hanya sekitar 0,24% dari produk domestik bruto (PDB) untuk riset. Dana ini tersebar di 45 kementerian dan lembaga. Selain itu, hanya 43,7% dari dana ini yang digunakan murni untuk riset, sementara lainnya untuk membiayai operasional. Dengan proporsi demikian, sumber dana untuk riset sesungguhnya terlampau kecil. Proporsi anggaran tersebut, bahkan, lebih kecil dibanding rata-rata anggaran riset negara-negara berkembang yang di atas 1 persen.
“Dana memang masih menjadi masalah. Tapi, dana besar pun, tak akan memiliki daya ungkit tanpa perbaikan pengelolaan. Jadi, badan baru yang nantinya akan dibentuk untuk mengelola riset secara terpadu harus benar-benar memahami bagaimana semestinya sebuah ekosistem riset hidup,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua ALMI Dr Alan F Koropitan mengatakan, sejarah telah membuktikan, bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki ekosistem riset yang baik. Jadi, upaya membangun ekosistem riset menjadi sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan oleh Indonesia untuk mencapai cita-cita kemajuan bangsa, di samping tentu saja untuk membentuk peringai ilmiah masyarakat.
Hal penting lain untuk memperkuat produktivitas dan kualitas riset Indonesia, menurut Alan, adalah dengan menggalang sinergi ilmuwan dalam dan ilmuwan diaspora. Saat ini terdapat sekitar 400 ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri.
Mereka terdiri atas profesor dan asisten profesor. India dan Tiongkok adalah negara yang memanen sukses dari sinergi riset dengan ilmuwan diaspora untuk memajukan sains dan teknologi mereka.
“Indonesia pun memiliki peluang yang sama. Oleh karena itu, ALMI dan para ilmuwan diaspora akan berjejaring dalam kluster riset yang ada,” tandas Alan.
Penulis:
Mohamad Burhanudin
(Communication Coordinator ALMI)