TOMOHON
“Dari Jogja kubayangkan krisan-krisan sedang bermekaran di Tomohon. Di halaman rumah-rumah penduduk, dan di kebun-kebun. Menanti dipanen untuk festival”
Bagi saya Tomohon bagaikan seorang ratu. Mahkotanya adalah bunga-bunga krisan riri dan krisan kulo. Tahtanya berada pada bentang alam vulkanik yang indah, dan tidak biasa. Sebab berhias manifestasi panas bumi seperti mataair panas, danau-danau panas, fumarol dan kolam-kolam lumpur yang berwarna warni. Memang, panas bumi atau geotermal adalah salah satu harta kekayaannya. Energi panas di perut bumi Tomohon sudah dimanfaatkan menjadi listrik sebesar 80 MegaWatt pada 4 buah PLTP. Sebagian kecil juga sudah dimanfaatkan untuk memasak saguer menjadi gula aren. Masih terbuka kemungkinan pemanfaatan untuk keperluan pengolahan hasil bumi lainnya.
Pada waktu membimbing puluhan mahasiswa KKN panas bumi UGM di Tomohon dan Minahasa pada tahun 2015 hingga 2018 yang salah satu programnya adalah Festival Panas Bumi, saya hampir selalu ikut menyaksikan Festival Bunga, atau Tomohon International Flower Festival (TIFF) yang diselenggarakan setiap bulan Agustus. Pada tahun-tahun itu Festival Panas Bumi adalah side-event dari TIFF. Salah satu harapannya adalah agar nantinya ada pembangunan industri pengolahan hasil bumi yang digerakkan oleh energi panas bumi.
Entah berapa ton bunga krisan yang dipakai untuk menghias puluhan kendaraan hias yang tampil dalam karnaval TIFF, belum lagi yang dirangkai untuk menghias banyak spot di kota Tomohon. Namun setelah festival usai, entah bagaimana nasib bunga-bunga cantik itu. Padahal krisan memiliki banyak manfaat. Cobalah cek kemasan obat batuk yang berkomponen herbal. Dalam komposisinya tercantum chrysanthemum extract. Dari situs https://www.alodokter.com/ kita dapat membaca bahwa krisan mengandung banyak vitamin dan mineral yang bermanfaat sebagi anti peradangan, anti oksidan, anti bakteri, dan anti jamur. Selain untuk bahan obat krisan juga bisa dibuat teh, yang memiliki khasiat untuk relaksasi. Bukankah semua manfaat itu semestinya bisa dipetik dari krisan-krisan Tomohon? Lalu, untuk pemrosesannya, tersedia uap panas bumi. Pilot plant yang yang tersedia di klaster sumur LHD-13 di wilayah kerja PT Pertamina Geothermal Energy layak dimanfaatkan.
Sekarang kita sedang dilanda pandemi, entah sampai kapan. Krisan-krisanpun pasti ikut terdampak, “nimbole bagaya” karena tak ada karnaval. Walau ada rencana untuk mengirim bunga-bunga cantik itu ke daerah lain/manca negara, ada baiknya dipikirkan juga untuk disisihkan sebagian dan mengolahnya terlebih dahulu dengan energi terbarukan yang menjadi karunia Kota Tomohon yaitu panas bumi. Mewujudkan gagasan ini tentu tidak mudah. Dari sisi “hulu” Tomohon perlu memiliki perkebunan krisan yang handal dan berkelanjutan. Kemudian teknologi pengolahan bunga krisan juga perlu dikembangkan, atau disesuaikan dengan karakter krisan Tomohon, dan jenis sumber energinya. Di sisi hilir perlu dibangun “pasar” untuk menyerap produk-produk “krisan geotermal” itu. Sinergi yang baik antara industri pengelola lapangan uap panas bumi dengan Pemerintah Daerah, petani bunga, dan pemangku-pemangku kepentingan lainnya juga perlu dibangun terlebih dahulu.
Saya optimis, Tomohon pasti bisa. Mari jo, lanjutkan Festival Bunga dengan cara-cara baru, agar krisan-krisan Tomohon tetap berseri, nilainya meningkat, kian mendunia, dan petaninya bahagia. Tuhan berkati Kota Tomohon, beserta seluruh isinya.
Dr. Pri Utami
Ketua Pusat Penelitian Panas Bumi Universitas Gadjah Mada dan Anggota ALMI
Artikel ini pertama kali diterbitkan di harian Berita Manado, 13 Agustus 2021