Oleh: Dr Yanuar Nugroho, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, sekaligus Deputi II Kepala Staf Kepresidenan 2015-2019
Hadiah Nobel bidang ekonomi 2019 diberikan kepada trio Abhijit Banerjee, Esther Duflo, dan Michael Kremer. Ketiganya dinilai memberikan sumbangsih besar dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan global melalui pemikiran dan riset yang mereka kerjakan. Pemikiran mereka berfokus pada upaya untuk mengurangi kemiskinan berbasis desain eksperimen dengan meneliti kebijakan pendirian sekolah dasar (SD) berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) yang dikeluarkan sepanjang tahun 1973-1978 di Indonesia, sebagai upaya pemerintah mengurangi tingkat kemiskinan melalui pendirian SD-SD di seluruh Indonesia.
Keberhasilan trio ekonom itu di satu sisi tentu membanggakan. Nama Indonesia disebut dalam dan menjadi fokus kajian/pemikiran, yang menghasilkan penghargaan sekelas Nobel. Namun di sisi lain, hal itu juga menyisakan pertanyaan besar. Kebijakan pemerintahan di Indonesia memang telah memberikan sumbangsih bagi model atau pendekatan baru dalam mengatasi kemiskinan global. Pertanyaannya, mengapa ilmuwan-ilmuwan kita justru luput melihat kebijakan tersebut? Apalagi salah satu dari penerima Nobel tersebut, Esther Duflo, baru berumur 46 tahun dan menjadi perempuan kedua yang berhasil meraih penghargaan bergengsi tersebut.
Umur Duflo, sebaya dengan anak-anak generasi Indonesia yang pada akhir 1970-an menerima manfaat dengan pendirian SD-SD berbasis Inpres di banyak tempat, perkotaan maupun pedesaan di Indonesia. Jutaan anak-anak itu, hari ini telah berhasil meraih mimpi mereka untuk menikmati pendidikan yang lebih baik. Sebagian dari antara anak-anak yang dulunya menikmati pembangunan SD tersebut, kini dapat dipastikan merasakan buahnya dengan melakukan mobilitas sosial berkat pendidikan yang lebih baik.
Mengelola talenta
Tentu saja, tantangan tahun 1970-1980-an sudah sangat berbeda. Jika pendirian SD Inpres pada tahun 1970-an diiringi dengan program Wajib Belajar 6 tahun, sekarang program Wajib Belajar itu sudah diperluas menjadi 12 tahun, sehingga targetnya adalah setiap anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan minimal sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA).
Apabila pendekatan struktural melalui pendirian gedung sekolah SD Inpres di tahun 1970-an kemudian dibarengi dengan program pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program Keluarga Berencana, jumlah absolut pertumbuhan anak-anak muda produktif hari ini ditandai dengan adanya ledakan dalam jumlah yang sangat besar. Para ilmuwan dan akademisi menyebutnya sebagai bonus demografi.
Bonus demografi yang diterima oleh bangsa Indonesia akan berpuncak pada sekitar tahun 2030 mendatang, atau 11 tahun dari sekarang. Jika tidak dikelola secara terkoordinasi yang mengandaikan adanya suatu lembaga otoritatif yang mengelola talenta-talenta baru Indonesia, ada kemungkinan bahwa sebelas tahun mendatang, bonus demografi ini justru berbalik menjadi kutukan demografi.
Faktanya, sampai hari ini belum terdapat suatu rancangan besar (grand design) dalam pengelolaan talenta-talenta yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal, kita juga mencanangkan suatu visi yang disebut Visi Indonesia Maju, yang ditargetkan akan kita capai pada saat bangsa ini berumur 100 tahun, yakni pada tahun 2045.
Tantangan pokok yang terbesar untuk membangun pengelolaan talenta yang bersifat nasional dan terpusat, justru terletak pada terseraknya setiap program pengembangan anak-anak muda di setiap kementerian dan lembaga yang menjadi pemangku kepentingan. Akibatnya, pengembangan talenta tidak atau belum terfokus pada pencapaian sasaran atau tujuan, yakni mengembangkan setiap potensi yang dimiliki oleh anak-anak bangsa ini, termasuk di dalamnya, pelaksanaan kebijakan dan program yang dilahirkan untuk mencapai tujuan tersebut. Model pengembangan talenta-talenta belum terintegrasi karena tidak adanya suatu lembaga otoritatif yang secara khusus dibuat untuk menangani dan mengelola pengembangan talenta anak-anak di Indonesia.
Apabila dibuat klaster besar untuk mengelompokkan talenta-talenta yang dibutuhkan untuk mengisi kebutuhan berbangsa 50 hingga 100 tahun mendatang, klaster tersebut dapat dikelompokkan dalam lima klaster besar sebagai permulaan, misalnya klaster (1) olahraga, (2) seni dan budaya, (3) riset dan sains, (4) industri, dan (5) aparatur sipil negara (ASN).
Mengapa perlu klaster atau bidang ASN dalam pengembangan talenta nasional? Karena sesungguhnya, ASN adalah mesin penggerak utama birokrasi modern. Mengembangkan talenta di lingkungan ASN akan menjadi fondasi yang kokoh dalam pengembangan talenta-talenta di bidang yang lain.
Dengan lima klaster besar tersebut sebagai struktur awal yang bersifat skalabel (dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan), setiap pengembangan talenta yang menyangkut tiga bidang atau klaster tersebut dapat diintegrasikan ke dalam badan atau lembaga khusus, dengan memanfaatkan semua sumber daya (orang, properti, infrastruktur, anggaran) yang selama ini terserak di berbagai kementerian dan lembaga. Konsolidasi ini menjadi penting, mengingat lembaga baru yang khusus menangani talenta-talenta tersebut berorientasi pada output yang terukur pada setiap klaster atau bidang yang diurus.
Menggali potensi
Berkaca pada potensi yang dimiliki oleh Indonesia –alam, budaya, kebijakan pemerintahan, dengan segala variasinya—ternyata justru menjadi objek kajian dan pengamatan dari para ilmuwan asing, dan ternyata mampu menginspirasi mereka dan memberi kontribusi bagi kemanusiaan dan ilmu pengetahuan. Raihan Nobel Duflo dan kawan-kawan tersebut, seharusnya menjadi pelecut untuk menciptakan kebutuhan membangun dan mengelola talenta-talenta Indonesia secara terarah.
Apalagi, Presiden Jokowi sudah berulang-ulang menegaskan dalam berbagai kesempatan, bahwa fokus pemerintahannya pada periode kedua, selain akan menyelesaikan pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan, akan menekankan pengembangan dan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pemerintahan yang dijalankannya bersama KH. Ma’ruf Amin, ingin menjadikan Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam ekosistem dan tatadunia yang juga sudah berubah.
Penegasan Presiden Jokowi tersebut perlu untuk diimplementasikan dan terutama dikelola secara efektif, tidak saja dalam kebijakan dan program yang sudah direncanakan oleh setiap kementerian dan lembaga sebagaimana dalam mekanisme penganggaran program yang dicanangkan oleh pemerintah.
Fokus pengembangan tersebut, perlu untuk diletakkan dalam perspektif jangka menengah dan panjang, dan tidak bisa dijawab hanya sekadar membentuk suatu lembaga atau organisasi, tetapi juga harus diimbangi dengan regulasi baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Instruksi Presiden, atau aturan-aturan lainnya.
Dengan meletakkan pengelolaan talenta sebagai kebutuhan bagi bangsa ini, dan memberikan alas atau fondasi hukum yang kuat, bangsa ini memiliki legitimasi dan tujuan yang jelas dalam rangka mewujudkan cita-citanya menjadi maju pada tahun 2045. Karena sesungguhnya, cita-cita itu adalah mimpi yang diberi tanggal.