Suatu hari di pertengahan dekade 1850-an, Alfred Russel Wallace–penemu teori evolusi makhluk hidup bersama Charles Darwin–melintasi Selat Lombok. Dia tertegun berhari-hari. Satu pertanyaan mengganjal di benaknya. Mengapa selat yang tak seberapa luas itu memiliki perbedaan fauna yang mencolok? Tak ada kakaktua di Bali. Sementara begitu mudah menemui burung indah itu di Lombok.
“Sebegitu berbedanya selayaknya perbedaan hewan-hewan di Eropa dan Amerika,” gumam Wallace.
Dia menuliskan keheranan dan kekagumannya itu dalam “Malay Archipelago”. Membawanya sebagai orang pertama yang menyadari dan menuliskan betapa beragamanya flora dan fauna nusantara.
Begitulah kisah AR Wallace seperti ditulis di Buku “Sains untuk Biodiversitas”, yang diterbitkan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) 2019 ini.
Ya, Indonesia memang negeri yang sangat kaya akan biodiversitas. Di darat maupun di laut. Hewan juga tumbuh-tumbuhan. Dari pohon-pohon besar hingga paku-pakuan.
Tentu saja, tidak lupa, aneka ragam puspa yang tumbuh di sekujur daratan kathulistiwa. Dari sekira 369.000 spesies tanaman berbunga di dunia, 25.000 di antaranya ada di Indonesia. Jumlah tersebut terus akan bertambah.
Bak kotak pandora, alam Indonesia menyimpan kekayaan biodiversitas yang tak terduga. Marcopolo, petualang dari Venesia itu, pada abad ke-12 terperangah dengan binatang-binatang ganjil di Sumatera, yang diimajinasikannya sebagai unicorn. Sekira tujuh abad kemudian giliran AR Wallace yang tercenung oleh keragaman yang terhampar.
Pada abad ke-21 ini, kejutan-kejutan itu tak berhenti. Pada 4 November 2019 lalu, misalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melaporkan bahwa peneliti mereka telah menemukan dua spesies baru anggrek, yaitu Dendrobium nagataksaka dari Papua Barat dan Eulophia lagaligo dari Sulawesi Selatan. Deskripsi spesies baru anggrek tersebut telah diterbitkan pada jurnal ilmiah internasional Phytotaxa pada bulan September 2019.
Kekayaan akan fauna dan flora, termasuk ragam puspa, telah mendorong pemerintah menetapkan tanggal 5 November sebagai Peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional. Peringatan dimulai pertama kali pada tahun 1993. Keputusan tersebut dilandasi Keppres Nomor 4 Tahun 1993 yang ditandatangani Presiden Soeharto.
Peringatan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kepedulian, perlindungan, pelestarian puspa dan satwa nasional, serta untuk menumbuhkan dan mengingatkan akan pentingnya puspa dan satwa dalam kehidupan kita.
Sobat ALMI, mari turut menjaga kekayaan biodiversitas kita. Jangan memburu, terlebih merusaknya.
Yuk, turut kampanyekan pelestarian ekosistem biodiversitas kita. Rawat dan manfaatkan secara lestari kado yang dititipkan oleh alam kepada kita ini.
Salam Pertiwi!!!
Penulis: Mohamad Burhanudin (Communication Coordinator ALMI)