Siaran Pers
Jakarta, 21 Oktober 2019–Meski Undang Undang 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi memberi harapan baru bagi pembentukan ekosistem riset Indonesia yang lebih produktif, beberapa klausul di dalamnya bertolak belakang dengan harapan tersebut. Di antaranya, adanya sanksi pidana untuk peneliti asing yang tak berizin serta peneliti yang risetnya dianggap mengancam oleh pemerintah.
Oleh karena itu, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) berharap agar pemerintah mengurangi potensi dampak negatif dari penerapan klausul tersebut, yang memiliki potensi menurunkan gairah kolaborasi penelitian antar-negara. Hal ini dapat dilakukan dengan aturan turunan yang menjamin kemudahan birokrasi bagi penelitian kolaboratif antarlembaga, serta mengembangkan perizinan online terpadu atau satu atap untuk memangkas birokrasi dan waktu perizinan.
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) bidang Sains dan Masyarakat, Dr Inaya Rakhmani, Kamis (17/10), mengungkapkan, Pasal 74-77 UU 11 Tahun 2019 menyebutkan bahwa tanpa izin pemerintah, peneliti asing yang melaksanakan penelitian berisiko tinggi, pengembangan, penilaian, dan penelitian terapan diancam hukuman maksimal dua tahun, atau denda maksimal Rp2 miliar.
“Klausul ini berlawanan dengan ambisi Indonesia untuk mempromosikan kolaborasi penelitian internasional. Kolaborasi dengan lembaga unggul negara lain masih sangat kita butuhkan untuk meningkatkan kompetensi akademisi dalam negeri,” ujar Inaya.
Selain itu, lanjutnya, meskipun menyatakan “mendukung kemajuan pengetahuan dan teknologi sebagai dasar ilmiah dalam perumusan dan pembuatan kebijakan pembangunan”, UU ini belum mengatakan apapun tentang kebebasan akademik. Kebebasan ini sangat penting dilindungi agar para peneliti dan akademisi dapat menghasilkan dan menyebarluaskan penelitian mereka dengan leluasa, sehingga berdampak ke masyarakat dan perumusan kebijakan pemerintah.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal ALMI Dr Berry Juliandi mengatakan bahwa dengan perizinan yang masih rumit dan birokratis, klausul pengenaan sanksi pidana tersebut akan lebih banyak memberi dampak negatif bagi iklim riset dan pengembangan di negeri ini.
Demikian pula ancaman pidana dan denda terhadap pelaku riset yang penelitiannya dianggap mengancam pemerintah. Oleh karena itu, peneliti asing harus mendapat izin pemerintah pusat melalui komite etika ad hoc. Yang termasuk dalam kategori ini adalah riset yang disebut dapat mengancam ‘harmoni sosial’ dan ‘keamanan nasional’.
Berry menyatakan, jika lokasi riset yang dikunjungi atau menjadi objek penelitian merupakan daerah-daerah khusus, seperti kawasan konservasi, suaka margasatwa, markas dan instalasi militer, atau objek-objek vital lainnya, kehadiran ketentuan pidana tersebut bisa dipahami. Dan, selama ini pun sesungguhnya sudah diterapkan ketentuan izin khusus untuk objek-objek semacam itu.
“Tapi, untuk penelitian-penelitian lain, istilah ‘kepentingan nasional’ dan ‘berbahaya’ ini menjadi rumit dan multi-interpretatif,” ujar Berry.
Dia menambahkan, implementasi sanksi pidana adalah upaya untuk menyelesaikan masalah tanpa terlebih dahulu memahami masalahnya. “Seolah-olah kita disuruh mengurangi penggunaan mobil sementara moda transportasi umum yang nyaman tidak ada,” katanya.
Perizinan terpadu
Jika memang pemerintah tetap bersikeras melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut, Berry menyarankan agar ada upaya memperbarui peraturan pemerintah tentang izin penelitian asing dan mempersingkat proses melalui sistem perizinan online terpadu; tanpa perlu hadir secara fisik.
Sebab, salah satu alasan mengapa penelitian asing tidak mengurus perizinan ketika meneliti di Indonesia, salah satunya karena persyaratan yang rumit dan panjang. Bahkan, proses perizinan tak jarang lebih lama daripada kegiatan riset di lapangan.
“Kondisi ini mendorong peneliti memilih visa lain, seperti kunjungan singkat, untuk menghindari rumitnya perizinan penelitian di Indonesia,” kata Berry.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah membuat platform digital terintegrasi yang menghubungkan lembaga-lembaga yang mengatur penelitian di Indonesia. Platform ini akan membuat proses aplikasi izin yang tak mengintimidasi sehingga para peneliti tidak memiliki alasan untuk melanggarnya.
Hal tersebut semacam Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dalam regulasi perizinan riset. Dengan model layanan perizinan seperti PTSP, prosesnya bisa berjalan cepat, karena yang berjalan ke kantor kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, bukan orang atau penelitinya, melainkan cukup dokumennya.
Berry menambahkan, dengan perizinan riset terpadu atau satu atap ini, peneliti tinggal mengirimkan dokumen lengkap ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Selanjutnya, dokumen dilanjutkan ke lembaga-lembaga seperti keimigrasian, kepolisian, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan lain sebagainya, untuk mendapatkan persetujuan.
“Cara ini akan mempermudah perizinan sekaligus menjadi transparan, sehingga dapat mengurangi dampak negatif dari klausul ketentuan pidana itu,” tandasnya.
Penulis:
Mohamad Burhanudin (Communication Coordinator of ALMI)
Mobile: 085692441525
Email: mburhanudin13@gmail.com, info@almi.or.id
Website: www.almi.or.id
Siaran pers ini telah dimuat di sejumlah media, di antaranya:
https://kumparan.com/@kumparannews/peneliti-risau-dengan-ancaman-pidana-di-uu-pengetahuan-dan-teknologi-1s4rxYEoIMl
https://kurio.id/app/articles/17534810
Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) merupakan organisasi bagi ilmuwan muda Indonesia yang bernaung di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). ALMI berdiri secara resmi setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden RI No.9/2016 tentang Revisi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga AIPI, pada tanggal 29 Februari 2016.