“Kodrat umat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.”
Demikian salah satu penggalan kalimat terkenal Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu karya akbarnya “Boemi Manoesia”. Kalimat tersebut dikutip oleh Wakil Ketua Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Dr Tatas HP Brotosudarmo saat menegaskan betapa pentingnya pengembangan dan penguasaan sains untuk generasi muda Indonesia menghadapi tantangan ke depan, khususnya dalam era yang disebut Revolusi 4.0. Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara dalam acara seminar nasional bertema “Pengembangan Riset Sains dalam Mendukung Profesionalisme Pendidik di Era Revolusi Industri 4.0” di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Jawa Timur, Selasa (26/11).
Menurut Tatas, ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menerangi peradaban manusia.
“Oleh karena itu, kemajuan bangsa ini sangat tergantung kepada bagaimana kita tetap menjaga cahaya ilmu pengetahuan tetap menyala, menerangi, dan menuntun perjalanan bangsa,” kata peraih gelar doktor di bidang biologi molekuler dan sel dari University of Glasgow, Inggris ini.
Revolusi Industri 4.0, jelas Tatas, adalah rencana strategis nasional dari Pemerintah Jerman melalui BMBF dan BMWI. Rencana ini diluncurkan tahun 2011 berdasar rencana induk Pemerintah Jerman, yaitu high tech 2020 strategy. Industri 4.0 diluncurkan oleh kelompok promosi komunikasi dari aliansi industri—riset sains.
“Tujuan utama Industri 4.0 adalah mendorong digitalisasi industri Jerman, interkoneksi produk, rantai nilai, dan model bisnis. Sementara tujuan pendukungnya adalah mendorong riset, jaringan kerja sama industri, dan standardisasi,” paparnya.
Menghadapi tantangan tersebut, Indonesia perlu menyiapkan dengan baik pengembangan sains, inovasi, dan teknologi. Khususnya, dengan memanfaatkan potensi besar yang dimiliki namun selama ini belum diperhatikan dengan baik, yaitu kekayaan biodiversitas yang melimpah.
Sebagai negara dengan bentang lautan mencapai 6,4 juta kilometer persegi dan perairan kepulauan 3,1 juta kilometer persegi, Indonesia sangat kaya akan sumber daya alam, terutama biodiversitas. Kekayaan biodiversitas kita menginspirasi terobosan besar ilmu pengetahuan dunia melalui magnum opus dan temuan ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Alfred Russel Wallace dengan teori evolusi, Franz Junghuhn merintis aklimatisasi tanaman, dan Eugene Dubois menemukan fosil Homo erectus di Sangiran. Jauh sebelum itu, Georg Eberhard Rumphius pada abad ke-17 merintis lahirnya taksonomi dan botani di Ambon.
Menurut Tatas, ada empat hal kunci yang harus disiapkan Indonesia menghadapi tantangan revolusi era kini, yaitu ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap hidup-nilai kebangsaan, dan budaya (IKSB). Yang kerap terjadi, sebagian besar waktu, uang dan energi dihabiskan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan lewat pendidikan formal, nonformal dan informal. Sebagian besar kegagalan individu dan organisasi ada pada sisi membentuk sikap hidup dan budaya manusia Indonesia.
“Pendidikan seharusnya memanusiakan manusia. Menjadikan pribadi yang reflektif dan berpikir, pribadi yang menghargai, dan pribadi yang bertanggung jawab,” lanjut penerima penghargaan “Marie Curie RTN 2017” ini.
Kekayaan budaya indonesia bisa menjadi sumber kekuatan bangsa jika dikelola dengan baik. Hal ini merupakan solusi alternatif bagi berbagai masalah sosial yang dihadapi masyarakat dunia saat ini dan mendatang. Heterogenitas di indonesia juga memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang lebih berwarna, membuka peluang untuk saling belajar, serta memicu inovasi.
“Maka, di sinilah perlunya menyiapkan manusia dengan karakter, nilai-nilai, dan kebersamaan sosial di tengah arus revolusi teknologi,” tandas Tatas.