Riset dan pengembangan ilmu pengetahuan adalah kunci daya saing bangsa. Pada titik tersebut, Indonesia masih harus berbenah, terutama untuk membangun sebuah ekosistem riset dan ilmu pengetahun yang lebih baik.
Hadirnya Undang Undang No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) sebagai revisi atas UU No. 18 Tahun 2002, memberikan harapan baru bagi upaya membangun ekosistem riset dan ilmu pengetahuan yang lebih maju di negeri ini. Sayangnya, beberapa kebijakan yang muncul dari revisi UU tersebut justru kontraproduktif dengan yang asa yang disematkan dalam revisi UU tersebut.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi kecil membahas Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Kantor Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) di Jakarta, Selasa (10/9). Diskusi tersebut dihadiri: Berry Juliandi, Sekretaris Jenderal ALMI; sejumlah perwakilan dari Knowledge Sector Initiative (KSI); Daniel Suryadarma, anggota ALMI ; Edbert Gani dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS); Rezki Handarta dari Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD); dan Widyana Perdhani dari J-PAL Southeast Asia.
Keberadaan komisi etik dalam UU Sisnas Iptek perlu mendapatkan perhatian tersendiri. Barangkali ide dasar pembentukan komisi etik untuk memudahkan perizinan riset dan menempatkan prosedur perizinan riset dalam kerangka etik. Akan tetapi, jika dicermati, keberadaan komisi ini kurang selaras dengan semangat menyederhanakan peraturan dan mendorong kolaborasi internasional. Komisi etik justru menambah panjang prosedur guna mendapatkan izin.
Sesungguhnya, keberadaan komisi etik bermanfaat bagi upaya mendorong agar etika menjadi rujukan dalam izin penelitian. Namun, bukan dalam bentuk kecurigaan pada peneliti asing atau kegiatan penelitian itu sendiri. Jika masalah etik yang ada hanya tentang administrasi, semestinya bisa dijalankan dengan cara yang sangat sederhana, bukan diperpanjang dan diada-adakan.
Terkait komisi etik, Berry mengatakan, hal tersebut telah menjadi perhatian ALMI sejak UU Sisnas Iptek dibahas. Dia berharap agar pemerintah mengedepankan prinsip desentralisasi dalam penerapan komisi etik. Bukan sentralisasi, karena justru akan menjadikan urusan semakin rumit dan panjang, serta menghambat riset.
“Komisi etik itu sebenarnya sudah ada di setiap universitas. Bahkan, dosen pembimbing itu bisa dianggap sebagai komite etik. Jangan terpusat. Jadi, Kemenristekdikti tinggal kasih arahan atau pedoman ke perguruan tinggi. Untuk lembaga riset non-perguruan tinggi, bisa lewat asosiasi,” paparnya.
Ketentuan wajib serah dan wajib simpan data primer penelitian pun perlu dipertanyakan lagi. Berry mengatakan, ketentuan wajib serah dan simpan sesungguhnya selama ini sudah ada. Sayangnya, dalam implementasinya, ketentuan tersebut sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Pemerintah belum menempatkan kewajiban tersebut untuk menjadi hal yang memiliki manfaat lebih bagi publik.
Oleh karena itu, ujar Berry, ALMI mendorong ketentuan wajib simpan itu diserahkan kepada masing-masing disiplin ilmu. Pemerintah cukup menyediakan kode untuk mengakses hasil penelitian yang dihasilkan.
Perizinan yang Rumit
Persoalan paling menonjol dari UU Sisnas Iptek adalah penetapan perizinan yang justru membatasi peluang terjadinya kolaborasi ilmu pengetahuan dan riset antarpeneliti di dalam dan luar negeri. Semangat nasionalisme yang diusung dalam kebijakan perizinan tersebut dipandang terlampau berlebihan.
Terdapat dua perizinan riset yang berjalan terpisah. Pertama, riset peneliti dan organisasi asing yang ditangani oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Kedua, izin peneliti warga negara Indonesia (WNI) yang ditangani Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Bahkan, UU 11 Tahun 2019 juga mengatur soal ancaman pidana kepada peneliti atau lembaga riset asing yang melakukan penelitian di Indonesia tanpa izin. Meskipun ancaman pidana dijatuhkan hanya kepada peneliti yang telah dikenai sanksi administrasi, aturan ini merupakan ancaman bagi kegiatan penelitian.
Salah satu alasan mengapa penelitian asing tidak mengurus perizinan ketika meneliti di Indonesia, salah satunya karena persyaratan yang rumit dan panjang. Bahkan, perizinan baru bisa tuntas lebih lama daripada kegiatan riset di lapangan. Kondisi ini mendorong peneliti memilih visa lain, seperti kunjungan singkat, untuk menghindari rumitnya perizinan penelitian di Indonesia.
Dalam praktiknya, perizinan riset membutuhkan waktu dua hingga enam bulan. Sejak sebelum datang ke Indonesia, peneliti asing sudah harus mengajukan izin melalui Kantor Kedutaan atau Konsulat Jenderal Indonesia. Setelah mendapatkan izin tertulis. Peneliti asing tersebut bisa berangkat ke Indonesia dan harus mengurus izin riset dan rekomendasi dari Kemenristekdikti, mengurus Kartu Izin Tinggal Terbatas Elektronik (e-Kitas) dari Kantor Imigrasi, surat jalan dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, serta mendapatkan surat pemberitahuan penelitian dari Kemendagri.
Bila lokasi penelitian adalah provinsi atau kabupaten, peneliti harus mendapatkan surat rekomendasi dari bakesbangpol setempat. Perizinan semakin panjang jika peneliti hendak melakukan riset di kawasan konservasi, izin dari bea dan cukai untuk membawa peralatan, bahkan dari Kementerian Pertahanan.
Terkait panjang dan berbelitnya izin riset di Indonesia tersebut, peneliti dari Auckland University of Technology, New Zealand, Sharyn Davies, membuat sebuah laporan riset yang mendeskripsikan betapa rumitnya mengurus izin penelitian di Indonesia dengan judul “Getting an Indonesian Research Permit and Other Catastrophes: Why Make it Easy When You Can Make It Hard”. Sharyn mengungkapkan, sesungguhnya yang kerap kali membuat lama sebuah perizinan bukan hanya instansi dan meja yang harus dilalui banyak, melainkan juga banyaknya hal-hal yang sesungguhnya tak substanstif terjadi dalam proses pengurusan itu, seperti petugas yang tidak selalu ada hanya untuk sekadar meminta tanda tangan.
Untuk perizinan riset di dalam negeri, umumnya tidak selalu merujuk kepada UU Sisnas Dikti. Rezki Handarta mengungkapkan, umumnya Kemendagri yang mengatur izin kegiatan riset di dalam negeri. Semangat yang muncul adalah untuk mengawasi, di mana penelitian masih dipandang sebagai potensi ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. Oleh karenanya, izin penelitian diletakkan di bawah Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri. Sedangkan di daerah oleh kesbanglinmaspol.
“Kadang pemerintah daerah setempat, seperti saat kami melakukan penelitian di Jawa Tengah, sebelum memberikan izin mereka bertanya terlebih dahulu, manfaat penelitian itu buat daerah mereka apa?” ungkap Rezki.
Persyaratan-persyaratan yang mempertanyakan adanya manfaat khusus semacam itu menjadi sangat rumit untuk dijawab dalam kegiatan penelitian, karena tak semua penelitian memiliki manfaat secara langsung, misalnya riset dasar. Belum lagi tentang standar pengurusan izin. Berdasarkan pengalaman CSIS dan SMERU, tiap daerah memiliki aturan dan lembaga penanggung jawab yang berbeda-beda, serta lamanya waktu pengurusan yang berlainan. Kadang seminggu, tak jarang lebih dari sebulan. Bahkan, cepat atau lambatnya proses pengurusan seringkali lebih ditentukan oleh kedekatan personal.
Kerumitan perizinan tersebut membuat sejumlah peneliti lebih memilih untuk tak mengurus izin riset. Untuk memperlancar jalannya penelitian, mereka memilih bekerja sama dengan peneliti lokal. Terlebih, dalam praktiknya, kerapkali izin dari Kemendagri tak menjamin pemerintah memberikan data dan informasi yang dibutuhkan.
Perizinan Satu Atap
Untuk mengatasi perizinan yang berbelit dan panjang, peserta diskusi sepakat tentang penerapan ide pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dalam layanan investasi ke dalam regulasi perizinan untuk riset. Edbert Gani mengatakan, dengan model layanan perizinan seperti PTSP, prosesnya bisa berjalan cepat, karena yang berjalan ke kantor kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, bukan orang atau penelitinya, melainkan cukup dokumennya.
Berry mengatakan, dengan perizinan riset terpadu atau satu atap ini, peneliti tinggal mengirimkan dokumen lengkap ke Kemenristekdikti. Selanjutnya, dokumen dilanjutkan ke lembaga-lembaga seperti keimigrasian, kepolisian, Kemendagri, dan lain sebagainya untuk mendapatkan persetujuan. Cara ini bisa dipakai untuk menyiasasi masalah perizinan, sehingga lebih mudah dan ringkas.
“Tapi, lagi-lagi semuanya menjadi tergantung orang-orang di dalam birokrasi. Mau atau tidak mereka menerima masukan. Sebab, saya dengar draf turunan yang mengatur hal ini sudah jadi,” ungkap Berry.
Pemerintah harusnya menyadari, tak semua hal harus diatur. Kesadaran ini penting untuk terus disampaikan kepada pemerintah mengingat kenyataannya, berbelitnya proses perizinan, baik izin riset maupun izin investasi, sering terkait dengan diaturnya hal-hal yang terlalu remeh atau tak substantif.
Forum yang hadir dalam diskusi sepakat, untuk mengupayakan terakomodasinya masukan-masukan dari publik, khususnya para pemangku kepentingan riset, sangat diperlukan keterlibatan seluruh stakeholders di sektor pengetahuan, terutama asosiasi profesi dan pendidikan tinggi.
Semua pihak perlu terus mengawal dan mengadvokasi pembuatan aturan turunan dari UU Sisnas Iptek. Perlu juga melibatkan lembaga-lembaga pemerintah lainnya yang terkait UU ini.
Setidaknya, ada delapan hal yang perlu dicermati sebagai bagian dari agenda advokasi oleh masyarakat, khususnya terkait pembuatan aturan turunan UU Sisnas Iptek, yaitu: kode dan komisi etik riset; wajib serah dan wajib simpang data primer riset; pemberian izin riset untuk peneliti asing; pengalihan material keanekaragaman hayati, spesimen lokal kekakayaan sosial dan budaya; perizinan riset yang berisiko tinggi dan berbahaya; tata cara pengenaan sanksi administratif; registrasi lembaga riset dan pengembangan serta lembaga pengkajian dan penerapan; serta sistem informasi iptek nasional.
Selain gerakan advokasi, menurut Berry, hal yang juga tak kalah pentingnya adalah mendorong mitra-mitra peneliti ke posisi strategis di pemerintahan atau birokrasi. Tak dapat dimungkiri, para pimpinan di birokrasi atau pemerintahan, seperti menteri dan dirjen, adalah orang-orang yang secara langsung menentukan pembuatan aturan, khususnya terkait riset dan ilmu pengetahuan.
Pergantian politik akan menentukan siapa pimpinan dari kementerian atau birokrasi. Jika orang yang terpilih menduduki posisi strategis di bidang riset dan ilmu pengetahuan memahami kebutuhan-kebutuhan perlunya pembangunan ekosistem riset dan sains, maka upaya mengatasi problem riset, seperti masalah perizinan, akan lebih mudah. Jika tidak, situasinya dapat bergerak lebih rumit.
Penulis:
Mohamad Burhanudin
(Communication Coordinator ALMI)