Urgensi Ilmuwan Indonesia Memandu Adaptasi atas Perubahan Iklim dan Krisis Sosio Ekologisnya
Sidang Paripurna (SP)
Sidang Paripurna (SP) Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) 2023 berlangsung di Wisma Kerkhoven, Observatorium Bosscha, 8 Desember 2023. Dihadiri ilmuwan muda Indonesia, membahas sejumlah agenda program kerja hingga pemilihan Ketua dan Sekjen ALMI periode 2025 sampai 2027. Sidang ini merupakan agenda tahunan ALMI yang dilaksanakan secara tradisi di akhir tahun untuk melaporkan sekaligus evaluasi kinerja ALMI selama setahun. Pembukaan dilakukan oleh Ketua ALMI, Prof. Gunadi (UGM) dan Kepala Observatorium Bosscha, Dr. rer. nat. Hesti R.T. Wulandari. Bu Hesti sangat apresiatif atas pemanfaatan tempat bersejarah sebagai lokasi SP tahun 2023, sehingga memberikan makna lebih atas penyelenggaraan ilmuwan muda di Indonesia.
Selain itu, ALMI mengukuhkan 20 anggota baru dari beragam latar keilmuan, baik keilmuan dasar, ilmu sosial, ilmu rekayasa, ilmu kedokteraan dan ilmu seni budaya. Anggota baru tersebut adalah, Arif Nur Muhammad Ansori (Universitas Airlangga), Wirya Sarwana (Universitas Teknologi Sumbawa), Linda Sukmarini (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Watumesa Agustina Tan (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya), Sri Suhartini (Universitas Brawijaya), Pramudita Satria Palar (Institut Teknologi Bandung), Gusnaniar (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Dwi Ariyanti (Universitas Teknologi Sumbawa), Andi Dian Permana (Universitas Hasanuddin), Firzan Nain (Universitas Hasanuddin), Mas Rizky Anggun Adipurna Syamsunarno (Universitas Padjadjaran), Maria Mardalena Martini Kaisar (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya), Dhite Bayu Nugroho (Universitas Gadjah Mada), Inggrit Olivin Tanasale (Universitas Pattimura), Adiatma Yudistira Manogar Siregar (Universitas Padjadjaran), Fitri Hariana Oktaviani (Universitas Brawijaya), Firman Parlindungan (Universitas Teuku Umar), Gede Primahadi Wijaya Rajeg (Universitas Udayana), Aris Setiawan (Institut Seni Indonesia Surakarta), Karlina Denistia (Universitas Sebelas Maret).
Selain melaporkan kinerja ALMI, baik dari Pokja Sains Garda Depan, Pokja Sains dan Kebijakan, Pokja Sains dan Masyarakat, dan Pokja Sains dan Pendidikan, pula merumuskan strategi kerja ALMI ke depan serta mengesahkan kode etik anggota ALMI.
Narasumber yang dihadirkan, Prof. Jatna Supratna, memberikan perspektif kritis tentang kemandirian ilmuwan dengan inisiasi pendanaan yang lebih kuat. Prasyaratnya adalah bersifat obyektif, tidak mudah menghakimi orang, berpikir terbuka, sehingga ilmuwan membuka pintu kolaborasi lebih baik. Strategi fund raising diperlukan bagi para ilmuwan baik dari sumber dana baik nasional maupun internasional. Ilmuwan perlu meyakinkan bahwa dampak terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, sumbangan fikiran bagi masyarakat serta pendidikan di Indonesia akan lebih kuat. Kemampuan yang perlu dikembangkan ilmuwan adalah keterampilan yang semestinya dikuasai peneliti, yaitu bagaimana bisa menerjemahkan sains terhadap kebutuhan pembuat kebijakan.
Di akhir SP telah berhasil memilih Ketua (‘president elect’) dan Sekretaris Jenderal ALMI, yaitu Dr. Lilis Mulyani (BRIN) dan Dr. Grandprix T. M. Kadja (ITB). Memungkasi acara, semua partisipan diundang untuk berkunjung ke observatorium bersejarah Bosscha.
Kongres Ilmuwan Muda Indonesia II (KIMI)
Hari kedua, Sabtu 9 Desember 2023, diselenggarakan Kongres Ilmuwan Muda Indonesia ke 2, bertempat di Design Centre FSRD ITB. Kongres mengambil tajuk “The Future Science, Responsibility, and Globalizing Eco Social Justice.”
Pembukaan diawali dengan sambutan Ketua panitia, Dr. Grandprix T. M. Kadja, dan Ketua ALMI, Prof. Dr. Gunadi. KIMI bertujuan menerima masukan kinerja ALMI ke depan dari para peserta kongres. Dalam pembukaan pula ada sambutan kurator Design Centre FSRD ITB, disampaikan oleh Dr. Prananda L. Malasan, berisi pengenalan tentang FSRD yang mengembangkan Ilmu Seni dan Desain lintas disiplin. Dalam acara ini juga dipamerkan beberapa karya mahasiswa FSRD ITB.
KIMI hadirkan keynote speaker Prof. Daniel Murdiyarso (Ketua AIPI), yang menyampaikan gagasannya soal ‘Climate Crisis: Vulnerability of Food and Health Systems’. Prof. Daniel menitikberatkan bagaiamana pengaruh krisis iklim terhadap sektor pertanian dan energi, hingga perlunya transformative research yang dilakukan ilmuwan. Science-based policy bidang pangan, energi dan lingkungan diharapkan membantu zero emission pada tahun 2060. Indonesia perlu mengembangkan strategi energi baru terbarukan, EBT, dengan teknologi yang lebih ramah lingkungan, misal dalam mengecharge baterai. Sektor pertanian sendiri merupakan sektor yang rentan karena di satu sisi sebagai penyuplai makan, di sisi lain sebagai penyumbang terhadap perubahan iklim. Tantangannya adalah bagaimana menyelaraskan alam dan transisi energi. Hal ini berkaitan dengan tingkat kesehatan masyarakat, penyebaran penyakit karena disebarkan oleh virus maupun hewan, tingkat sanitasi dan ketersediaan air besih, serta suplai makanan. Indonesia sendiri saat ini menempati Negara dengan emisis CO2 tertinggi no 7 dunia setelah Brasil, sehingga program deforestrasi perlu ditekan.
Pada dasarnya, bagaimana kemajuan ekonomi bisa dicapai dengan tetap menjaga lingkungan, tidak perlu merusak lingkungan, baru tersadar lingkungan. Bagaimana riset lebih bermanfaat vs riset dasar yg baru tahu manfaatnya setelah sekian puluh tahun. Tantangan, dari retorika menjadi fakta. From agreement to action.
Setelah sesi diskusi, berlanjut dengan panel session, dengan narasumber Gunadi (FK UGM), Herlambang Wiratraman (UGM), Anggia Prasetoputri (BRIN), Lilis Mulyani (BRIN). Lilis menyatakan bahwa perubahan iklim yang ekstream lebih membebani warga miskin lima kali lipat. Sumber daya air semakin terbatas, sehingga panen menutun dan warga jadi terbebani. Berkembangnya korporasi yang menguasi lahan pertanian ini juga mengancam para petani lokal. Tingkat kesubutran tanah juga semakin menurun, dan berubahnya lahan menjadi perumahan maupun industri menjadi permasalah tersendiri di sektor pertanian dan pangan dna impacnya terhadap kesehatan.
Gunadi memberi catatan, WHO sendiri telah menyatakan pengaruh perubahan iklim terhadap kesehatan, seperti malnutrisi, stunting (dimulai dari anak itu jauh sebelum lahir, seperti nutrisi saat ibu hamil). Pengaruh suplai makanan, termasuk nutrisi yang terasup, mengakibatkan sequen berikutnya, seperti lemahnya IQ dst. Pademic SARS-COV-2 itu juga disebabkan perubahan iklim dan mengakibatkan perubahan virus dan varian virus. Bagaimana dari sisi ‘host’, terjadi perubahan imunitas manusia, penyakit yang penularannya disebabkan penularannya oleh hewan (zoonosis, misal kelelawar) dan terhadap manusia sendiri. Bahkan, psikologi mental dipengaruhi oleh perubahan iklim. Endingnya perubahan sistem kesehatan. Sistemnya menjadi responsive, bukan adaptif, dikarenakan kita tidak siap menghadapi pandemi itu. Gagasannya, perlu mengubah paradigma sistem kesehatan tidak lagi responsive, melainkan adaptif.
Anggia menambahkan, krisis iklim tidak hanya berpengaruh pada pangan, melainkan juga berpengaruh pada mata pencaharian petani. Perubahan iklim mempengaruhi sifat virus, kenaikan suhu secara global juga akan berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Bukan hanya bakteri, tetapi juga perkembangan penyakit, dan transmisi penyakit ini semakain sering, sehingga mengubah siklus perkembangan nyamuk misalnya, misalnya ada genangan air, atau transmisi perkembangbiakan nyamuk. Salah satu tansmisi penyakit diperparah oleh perubahan iklim karena pembukaan lahan baru akan menggangu habitat satwa liar yang ujungnya harus mencari tempat tinggal baru, seperti pemukiman manusia.
Herlambang mengaitkan keadilan sosial dalam krisis iklim. Baginya, tidak akan keadilan iklim tanpa hak asasi manusia (no climate justice without human rights). Ia mencontohkan kisah Effendi Buhing, Ketua Masyarakat Adat Laman Kinipan, Kalimantan Tengah, yang ditangkap karena mempertahankan ekosistem hutan. Kisah perjuangan itu sebenarnya berkaitan dengan apa yang dimaknakan dengan keadilan untuk anak cucu mereka, atau intergenerational justice. Sayangnya, politik hukum Indonesia masih kuat dipengaruhi oleh market oligarch friendly legal framework. Kerangka hukumnya masih kuat melayani oligarki serta ramah terhadap kepentingan pasar. Terlihat dari pengesahan UU Minerba, UU Cipta Kerja (Omnibus Law), mega proyek dan seterusnya. Eksploitasi sumberdaya alam secara eksesif sehingga timbul kekerasan secara terus menerus, pemiskinan secara struktural, serta krisis ekologi secara luas. Sayangnya, upaya memperjuangkan suara kritis ilmuwan juga tak mudah, karena terjadi serangan balik, sebagaimana terjadi dalam kasus gugatan miliaran yang dialamatkan kepada dua akademisi kehutanan IPB, Prof. Basuki Wasis dan prof. Bambang Hero Sahardjo. Begitu juga penyingkiran ilmuwan biologi yang berdampak pada proteksi biodiversitas, menjadi perhatian komunitas ilmuwan Jerman, khususnya terhadap strategi dekarbonisasi dengan contoh ekspansi tambang nikel, yang merusak alam di Sulawesi Tenggara. Ilmuwan bagianya, perlu melwan narasi yang mengelabuhi, perlu kerangka hukum progresif membangun institusi yang mempromosikan hukum yang menunjang perlindungan terhadap perubahan iklim. Herlambang menutup argumen dengan menyatakan, ilmuwan berpolitik (bukan partisan), research transformatif itu ideologis, bukan soal teknis, sekadar ada saintifikasinya. Karenanya, ia memerlukan elemen social change, atau setidaknya social significance; ia menandingi ilmuwan pelumas rezim di taman manipulatif, dengan ilmu pencerdasan untuk keadilan integenerational, memandu peradaban kemanusiaaan.
Panel ditutup dengan sejumlah catatan akhir, pertama, pentingnya kerjasama/kolaborasi (ilmuwan, jurnalis, komunitas, organisasi non pemerintah, seniman, dll.), termasuk upaya bersama membentengi kebebasan akademik/ilmuwan. Kedua, perlunya komunikasi sains, tantangan membumikan sains ke kesadaran politik yang luas di tengah masyarakatnya, baik melalui seni, film, event, atau bahkan dalam mengembangkan interactive learning di pendidikan. Ketiga, transformative tidak hanya riset, melainkan pula learning. Transformative learning melahirkan inisiasi mengubah, atau menggerakkan. Keempat, transformasi dimungkinkan dengan pesan yang lebih populer soal keadilan iklim, seperti membuat visual, infohgrafis, artikel populer, atau platform media digital populer.
Terakhir, KIMI diakhiri dengan menyelesaikan dokumen Pandangan ALMI, https://almi.or.id/pandangan-bersama-kimi-2023/ . Serta sejumlah penandatanganan MOU seperti dengan Yayasan Taruna Bakti dan tirto.id. KIMI diakhiri dengan acara pemberian Thesis Award ALMI dalam bidang Ilmu Dasar, Ilmu Kesehatan, Teknik, Ilmu Pendidikan, Ilmu Sosial Humaniora yang diselenggarakan oleh Pokja Sains Garda depan.
Contact person
Dr. Grandprix TM Kadja / Ketua Panitia, ITB
WA: +62 856-9168-9733