Indonesia memiliki kekayaakan bioprospeksi yang melimpah dengan potensi dampak ekonomi yang besar. Indonesia memiliki 30.000 tanaman obat, 4.000 di antaranya memiliki rekam jejak turun-temurun sebagai bahan pembuatan jamu. Kekayaan alam Indonesia mencakup lebih dari 10 persen tanaman dunia yang dapat menjadi sumber utama obat-obatan.

Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) Dr Berry Juliandi saat menjadi narasumber dalam acara diskusi bertema “Merawat Wallacea Merawat Indonesia” yang diselenggarakan di Aula Universitas Hasanuddin, Makassar, Rabu (27/11). Acara ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Wallacea Week 2019 yang digelar tanggal 22-28 November 2019.

Menurut Berry, pada abad ke-17, Georg Eberhard Rumphius telah mencatat dan menulis mengenai keragaman botani, taksonomi, dan tumbuhan-tumbuhan obat-obatan di nusantara, khususnya Ambon.
Di Amerika Serikat, Klinik Mayo berhasil memanfaatkan karya akbar Rumphius yang diterjemahkan dari bahasa Belanda kuno tiga tahun yang lalu, “Herbarium Amboniense”. Dari buku itu, Mayo mengembangkan antibakteri dari ekstrak pohon atun (Atuna racemosa), yang sesungguhnya banyak tumbuh di nusantara. Di AS, seperti dicatat oleh National Institutes of Health 2016, angka penjualan obat-obatan berbasis biodiversitas telah mencapai 37 miliar dolar setahun.
Ironisnya, di Indonesia, berdasarkan Data Bagian Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), pada tahun 2018, 95 persen bahan baku obat-obatan dan suplemen dalam negeri masih berasal dari impor. Ekspor baru berkontribusi sekitar 20 persen terhadap total omzet industri farmasi yang diperkirakan saat ini sekitar Rp 60 triliun.
“Indonesia seharusnya dapat pula memanfaatkan karya-karya Rumphius lebih jauh melalui penggalian dan penerjemahan naskah-naskah kunonya,” kata Berry.
Pemanfaatan sains dan teknologi terkini, dikombinasikan dengan pengetahuan dan naskah-naskah kuno dapat membuka jalan bagi pengembangan obat-obat herbal yang sudah distandarkan, fitofarmaka, hingga penemuan zak adiktif. Langkah ini, bahkan, telah membuahkan hadiah Nobel Kedokteran yang diraih ilmuwan China, Tu Youyou, pada 2015, atas penemuan artemisinin sebagai antimalaria. Penelitian tersebut bermula dari pengumpulan dan pencarian ribuan resep ramuan herbal berumur 1.700 tahun untuk melacak zat-zat yang berpotensi memiliki sifat antimalaria.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah kekayaan biodiversitas darat dan laut terkaya di dunia, yang sesungguhnya memiliki banyak bahan baku farmasi.
Dengan kekayaan yang ada, kata Berry, Indonesia juga berpotensi mengembangkan bioenergi dan fotosintesis mikroalga guna menyerap energi matahari menjadi biomassa, bioetanol, atau bahkan carbon-negative hydrogen. Ini yang kita sebut sebagai bioprospeksi untuk bioenergi.